CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN

CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN


CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN, Hasrat-Bispak44 Semuanya orang didalamnya harus berusaha dan berkorban agar tidak terdepak, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok  bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yaitu orang penari, serta sering ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang karena hilang ingatan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang sendu sebab Bapak telah tak ada, namun juga kebingungan lantaran sekian hari selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil broker judi yang berikan hutang pada Bapak. Kami tidak mempunyai tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak butuh ijazah, rival begitu banyak. Selanjutnya sesudah lumayan lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok memilih untuk manfaatkan keterampilan kami. Dengan modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah persiapan ujian akhir SMA atau meniti tahun mula kuliah, dan yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat peroleh sekian lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak enteng  cari uang secara seperti berikut, paling-paling yang kami temukan hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Serta tidak di semua tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang siap bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Biarpun sering helai-lembar itu dikasih ke kami oleh kurang santun contohnya dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok memanglah menarik? Tidak tahu ya. Saya sendiri tak terasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu terus membimbing serta mengingati saya buat menjaga badan biarpun melalui langkah simpel, jadi meski sawo masak, kulit saya terus mulus serta tidak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pun sich kalaupun di sebut saya montok. Tidak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya jadi bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus risau dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula kuat dikarenakan dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Bingungnya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Sampai usia begitu lantas beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi jika sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruh orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa tidak baik lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok seluruhnya omong saya elok. Saya pikirkan, itu sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang melihat."


Lama-kelamaan saya biasa pun pakai dandanan sesuai itu, malahan saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, sesaat kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, tragedi ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya cemas, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak  Simbok sudah tidak ada asa, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, malahan perlu berutang kemanapun. Saya tidak bisa menyelenggarakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja karena sangat bersusah-hati. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pun kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya  perlu lawan banyak tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kepelikan saya . Maka, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang miliki kontrak. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat katakan maaf, serta sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ujarnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA MENCICIPI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN

Naasnya, hari itu pasar rada sepi, dan setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana metodenya biar kelak jika pulang sudah punyai cukup uang untuk bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu hanya tahu beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya geram namun tidak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Hanya ngerinya saya tak dapat cukup uang ini hari untuk bayar sewa. Bila berjualan, saya tidak mempunyai apapun, perlu jual apa?"


Tetapi terus tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa tujuannya itu.


"Kalaupun kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, namun apa harus secara sebagai berikut? Namun jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai gak terdengaran. Bila saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tak berani membawa kepala, namun kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memberikan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya terus sangsi. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Jika tak ingin ya udah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada lelaki terbuka ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sejumlah itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya  kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama